Kesetaraan Gender atau Feminisme?

Kemunculan wacana akan Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) menguak di tengah masyarakat. Meskipun mendapatkan respon tak seberapa jika dibandingkan dengan isu-isu kekinian yang panas dibahas, seperti halnya kenaikan harga bahan bakar minyak, namun sesungguhnya RUU KKG ini cukup krusial untuk dibahas dan memiliki posisi cukup “strategis” dalam menata ulang konstruksi sosial di Indonesia.

Memang sejauh ini Indonesia masih dianggap sebagai negara dengan budaya patriarki yang masih cenderung kuat, dimana kaum lelaki cenderung mendominasi dan perempuan di bawah kekuasaan lelaki. Maka kemudian pengarusutamaan gender, menjadi sebuah topik yang sangat hangat dibahas sebagai bentuk keseriusan dalam upaya untuk meningkatkan “kualitas kesetaraan gender” di tengah masyarakat.

Namun sebenarnya apa pemaknaan gender? Dari draft RUU KKG, gender dipahami sebagai “pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kosntruksi sosial budaya yang sifatnya tidak tetap dan dapat dipelajari, serta dapat dipertukarkan menurut waktu, tempat, dan budaya tertentu dari satu jenis kelamin ke jenis kelamin lainnya.”            

Pemaknaan bahwa gender merupakan pembedaan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki, benar adanya. Namun jika ditelusuri lebih lanjut mengenai asal muasal gender dari sebuah kosntruksi sosial budaya, yang sifatnya tidak tetap, dan dapat dipertukarkan, ini sungguh masih dalam ranah perdebatan panjang.

Menurut Dr. Adian Husain, dalam konsep Islam, tugas, peran dan tanggung jawab perempuan dan laki-laki bukan didasarkan pada konstruksi sosial budaya, yang dapat dijadikan konsensus, kemudian dapat berubah-ubah sesuai dengan keadaan. Konsep gender dalam Islam jelas, disesuaikan dengan wahyu, karena orientasi kehidupan Islam bersumber pada wahyu, maka semua perkara harus dikembalikan pada wahyu dan hal-hal otoritatif lainnya (sunnah, fikih) dalam merujuk penyikapannya (Jurnal Islamia, 22 Maret 2012).

Selain memahami definisi mengenai gender dan isu kesetaraan yang diusung di dalamnya, menarik juga untuk membahas mengenai beberapa substansi yang terdapat dalam RUU KKG ini. Pasal 1 ayat 2 menyebutkan, “kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.”

Satu hal lagi yang perlu di sorot dari RUU KKG adalah yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2, “keadilan gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.”

Sepintas memang tak ada masalah dari muatan yang terdapat dalam beberapa pasal yang terdapat dalam RUU KKG ini. namun jika ditelusuri lebih jauh, terdapat kejanggalan dalam RUU ini.

Feminisme, Mainstream Kesetaraan Gender
Dalam pengambilan sebuah kebijakan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, salah satunya adalah bahwa kebijakan yang diambil merupakan serapan dari nilai-nilai yang hidup di tengah masyarakat. Tanpa adanya nilai yang hidup dalam masyarakat (namun justru dinafikan), kebijakan yang dihasilkan justru menghasilkan penolakan dari masyarakat berupa ketidakbahagiaan (unhappiness) atau bahkan sampai tindakan resistensi lain yang bersifat lebih eksitrim.

Dilihat dari draft RUU KKG ini, dalam beberapa substansi, baik itu dalam definisi gender, kesteraan gender, maupun keadilan gender terlihat tidak akomodatif bahkan mungkin terkesan abai terhadap salah satu nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu agama.

Dari pendefinisian gender yang ditawarkan dari RUU KKG ini jelas menyebutkan bahwa gender merupakan pembagian tugas, pembedaan peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil kosntruksi sosial budaya, namun tidak mencantumkan agama. Kenyataan bahwa Islam (sebagai agama mayoritas di Indonesia dan memberikan sumbangan besar dalam pembentukan kosntruksi sosial di Indonesia) juga memiliki kosnep sendiri mengenai gender, tidak di akomodasi dalam RUU KKG. Ini dapat kita buktikan dalam pendefinisian yang coba dijabarkan dalam RUU KKG mengenai kesetaraan gender dan keadilan gender.

RUU KKG mendefinisikan kesetaraan gender sebagai “kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”, kemudian keadilan gender didefinisikan sebagai “suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat, dan warga negara.”

Hal ini kemudian memunculkan perdebatan apakah kesetaraan ini termasuk dalam aspek agama atau tidak? Bagaimana jika kemudian kesetaraan benar-benar disinggung dalam berbagai aspek? Akan muncul kemudian penuntutan hak dari kaum perempuan untuk menjadi imam sholat, menjadi khatib masjid, atau mungkin menuntut untuk berbaur dalam jamaah sholat dengan kaum lelaki. Pembagian harta waris yang telah di tentukan Al Qur’an pun, sebagai referensi otoritatif dalam hukum Islam, dianggap telah melanggar hak perempuan, jika merujuk pada draft RUU KKG. Pihak yang menjaga status quo ini kemudian (jika disahkan) akan dianggap melakukan pelanggaran terhadap UU KKG, dan semakin banyak orang yang dilaporkan melanggar hukum dan dipidanakan karena berupaya menjaga kemurnian ajaran Islam. Ini kemudian akan mendestruksi ajaran Islam itu sendiri, bukan hanya pola hidup keseharian umat muslim di Indonesia.

Yang bisa ditarik dari pembuatan RUU ini sebenarnya adalah sebuah pertanyaan, sebenarnya apa yang menjadi substansi dan tujuan dari RUU ini? Secara substansi, RUU ini bermaksud untuk menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia pada kaum hawa. Namun yang disayangkan dari draft terakhir RUU ini tidak menyinggung hal-hal substantif permasalahan perempuan, misalnya partisipasi dalam pendidikan atau pelayanan kesehatan (misalnya melahirkan, menyusui). Kemudian jika ditarik dari tujuan kemudian dihubungkan dengan substansi, RUU ini bukan untuk bertujuan memastikan terpenuhinya hal-hal yang lebih bersifat kualitatif, namun hanya bersifat kuantitatif, yang diukur dengan presentase kesetaraan gender.

Mengutip Dr. Hamid Fahmi Zarkasy (Ibid.) presentase kesetaraan gender ini juga akhirnya tak dapat merepresentasikan kesejahteraan perempuan. Tingkat keaktifan kaum perempuan di Kuba jauh lebih baik dari Jepang. Namun tak menjamin keadaan wanita Kuba jauh lebih baik dari Jepang. Keadaan perempuan Indonesia di pedesaan memiliki kesempatan memiliki pekerjaan yang sama dengan kaum prianya. Di Pakistan bagian utara, kaum wanitanya sangat di isolasi, dan jauh dari peradaban. Namun jika diukur ternyata keduanya dianggap juga menekan perempuan.

Hal ini memang masih rancu untuk didudukan sebagaimana mestinya. Namun mengimpor konsep kesetaraan gender dari Barat juga merupakan kesalahan karena belum tentu mmembawa dampak positif dalam masyarakat. Cara memahami kesetaraan gender sama dengan Barat berarti membuktikan bahwa arus utama gender masih didominasi feminisme, yang lebih menekankan pada superioritas perempuan. Bukannya mendudukan gender secara komprehensif dan menyentuh hal-hal substansial, langkah semacam ini justru menimbulkan permasalahan baru akibat terdestruktuksinya konstruksi sosial yang sudah lebih dulu terbangun.

Andhika Beriansyah
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI 2010
Anggota Study Group ARC

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger