Menyikapi Feminisme

Bila kita membicarakan feminisme, kita akan akrab dengan beberapa kosa kata seperti perempuan, kesetaraan gender, emansipasi, atau liberalisme. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina, yang artinya perempuan dan isme yang artinya pemikiran, pandangan, atau ideologi. Dari definisi tersebut pemikiran kita akan mengarah pada aktivitas individu atau sekelompok orang yang berusaha memerjuangkan hak-hak perempuan dan menuntut diakuinya kesetaraan peran dengan laki-laki. Namun, ada juga yang lebih netral dalam mendefinisikan feminisme sebagai aktivitas perjuangan hak perempuan agar bebas dari segala penindasan, kejahatan, pelanggaran HAM, dan diskriminasi peran.

Berdasarkan latar belakang historis, feminisme merupakan produk liberalisme yang berkembang sekitar abad ke-19 sebagai kritik atas tertindasnya kaum perempuan yang hanya dianggap masyarakat kelas dua sejak masa Yunani, Romawi, abad pertengahan, hingga masa kolonialisasi pada abad pencerahan.[1] Perempuan tidak lebih dari sekedar manusia yang harus mengurus rumah tangga, mengalami penindasan, pelecahan seksual, keterbatasan dalam pendidikan dan aktivitas politik.

Sejak wacana kemanusiaan pasca perang dunia mengglobal, dunia semakin menyadari pentingnya perdamaian dan penegakan hak asasi manusia lebih besar daripada kekuasaan dan kemenangan semata. Bahkan, selama perang dunia banyak perempuan dan anak-anak yang menjadi korban. Sedangkan di masa industrialisasi perempuan menjadi buruh dan sering mengalami diskriminasi. Hal inilah yang memunculkan kesadaran masyarakat bahwa tidak cukup bebas dari penjajah dan peperangan, tetapi juga bagaimana perempuan lebih dihargai serta tidak ada pembatasan peran yang mengarah pada diskriminasi.

Mary Wollstonecraft merupakan tokoh gelombang pertama feminisme yang mengatakan bahwa munculnya kerusakan ekonomi pada perempuan akibat mereka terlalu bergantung pada laki-laki dan kurang memiliki kesempatan dalam publik. Pemikirannya berhasil menarik perhatian dunia bahwa perempuan juga berhak memeroleh kesempatan dan hak-hak yang lebih luas seperti laki-laki. Pada gelombang kedua, aktivitas kaum feminisme yang awalnya hanya dilakukan individu mulai berkembang menjadi kelompok-kelompok dan terorganisir. Para feminis, sebutan aktivis feminisme, mulai menggugat ketertimpangan yang terjadi bagi perempuan, seperti kurangnya akses pendidikan, politik, dan keberpihakan pada ibu serta hubungan pernikahan. Sedangkan dalam gelombang ketiga yang berjalan sampai saat ini feminisme berkembang pada toleransi keragaman.[2] Arah gerakan pun cenderung memerjuangkan toleransi terhadap kaum lesbian dan penyetaraan peran dengan laki-laki. Hal inilah yang menjadi kajian kritis ilmuwan Islam karena konsep-konsep perjuangan para feminis semakin menjauh dari prinsip-prinsip Islam.

Sekilas menengok perjuangan Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam, masyarakat Arab masih memerlakukan perempuan dengan semana-mena. Mereka membunuh anak perempuan, menjadikannya budak, bahkan terjadi pertukaran atau perceraian istri sepihak. Di masa Jahiliyyah itulah Allah mengutus Al-Alim Muhammad SAW untuk membawa perubahan dengan mukjizat Al-Quran. Allah menjamin kebenaran Al-Quran dan tidak ada yang dapat menyangsikannya. Dalam QS. Al-Hujuraat ayat 13, Allah dengan tegas menetapkan kesamaan derajat laki-laki dan perempuan karena hanya ketakwaan yang membedakannya.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (QS. Al Hujuraat: 13)
Bagaimana terjadi perbedaan antara keduanya merupakan rahasia Allah dan secara kodrat keduanya memiliki keistimewaan masing-masing. Kita menolak argumentasi yang menyatakan hukum Islam mendiskreditkan perempuan. Justru karena keistimewaan tersebut, perempuan memiliki caranya sendiri dalam mengarungi arus kehidupan seperti halnya laki-laki. Selain itu, adanya pembatasan yang mengatur kehidupan perempuan bukan untuk mengekang aktivitas atau hak-hak manusiawi, namun justru sebagai perlindungan dan peringatan Allah akan pentingnya solidaritas dengan laki-laki yang juga memiliki caranya sendiri. Batasan-batasan yang Allah tetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW adalah sebagai pengingat dan tameng utama pentingnya pengontrolan diri, pembatasan sikap, perilaku, dan cara berpikir. Sebab, hal tersebut tidak hanya terkait niat ibadah kepada Allah, tetapi juga bentuk toleransi terhadap laki-laki.

Apabila saat ini kaum feminis gelombang ketiga berusaha memerjuangkan kesetaraan dengan laki-laki, tentu hal tersebut kurang sesuai dengan Al-Quran dan Hadis. Pandangan feminis tentang pentingnya kesempatan yang sama dalam pendidikan, pekerjaan, dan pemerintahan, serta  menentang segala bentuk diskriminasi tentu positif kita dukung. Karena hal tersebut merupakan salah satu perjuangan umat Islam era modern dalam melawan perilaku jahiliyyah arus baru. Perjuangan tersebut lebih tepat disebut menuntut “keadilan” daripada “kesetaran.” Keadilan tidak terbatas pada pembagian porsi sama besar, tetapi pembagian secara proporsional. Sedangkan kesetaraan cenderung mengarah pada tuntutan harus sama dan tidak berbeda.

Perjuangan kaum feminis yang berlebihan di masa gelombang ketiga ini justru melanggar nilai-nilai kodrat perempuan. Bahkan, mulai melencong pada perjuangan kaum lesbian yang jelas diharamkan oleh Allah dan tuntutan agar setara dengan laki-laki. Kuatnya arus globalisasi memperluas berkembangnya pemikiran feminisme termasuk memengaruhi cara berpikir umat Islam. Penanaman nilai-nilai feminisme dikemas dalam berbagai bentuk. Tidak hanya dari segi sosial, penanaman feminisme juga terakomodasi dari segi politik. Seperti tuntutan RUU KKG (Kesetaraan dan Keadilan Gender) agar segera disahkan sebagai UU, munculnya affirmative action, keterwakilan perempuan dalam parlemen, dan lain-lain.

Inilah tantangan kita sebagai umat Islam di tengah derasnya arus liberalisasi saat ini. Sebagai muslim, kita harus mampu berpikir kritis dan cerdas dalam menghadapi serta menyikapi berbagai pemikiran dan ideologi baru, seperti feminisme. Kita harus pandai dalam mengambil hal yang baik dan meninggalkan yang buruk, apalagi hal tersebut tidak termasuk dalam ketentuan Allah dan Sunnah Rasulullah. Feminisme boleh berkembang dengan definisnya masing-masing. Entah versi gelombang pertama, kedua, atau ketiga. Hal terpenting dalam pemahaman kaum muslim adalah baik laki-laki maupun perempuan sama derajatnya di hadapan Allah SWT serta memiliki keistimewaan masing-masing. Islam mendukung perjuangan penegakan hak-hak perempuan dan kesempatan yang sama sesuai porsinya. Keadilan tidak harus menjadikan hal yang berbeda harus menjadi sama, tetapi bagaimana memperlakukan keduanya secara proporsional dan bijaksana.


[1] Dinar Kania, Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender, http://insistnet.com/index.php?option=com_content&view=article&id=311:akar-masalah-konsep-ruu-kesetaraan-gender diakses pada 28 Maret 2012.
[2] Ibid.


Nur Aida Mardhatila
Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UI 2010
Anggota Study Group ARC

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger