Merancang Kematian

Setiap orang ‘sukses’ biasanya mempunyai perencanaan dalam hidupnya. Perencanaan yang membuat gerak langkahnya tepat menuju arah yang jelas. Yang membedakannya kini adalah ke mana arah yang dimaksud. Sebagian besar orang barat yang sekuler mengarahkan masa depannya hanya pada dunia. Ukurannya mulai dari kekayaan, kekuasaan, hingga ketenaran. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat mereka tidak mengenal konsepsi tentang akhirat, entah sengaja menafikan atau belum pernah diajarkan. Lalu bagaimana dengan kita sebagai seorang muslim? Masihkah rancangan masa depan kita hanya berhenti di tahap dunia?

Tentu saja tidak. Ibnu Qayyim Al Jauziyah pernah berkata bahwa seseorang disebut dewasa ketika dia bisa menjawab tiga pertanyaan: Akan jadi apa pada umur 40 tahun? Ingin dikenang sebagai apa saat meninggal? Sudah siapkah menjawab pertanyaan Allah? Tiga pertanyaan yang membuat kita harus merancang masa depan kita, tidak hanya semasa hidup, tetapi juga saat mati datang. Itulah mengapa saya menamai risalah diskusi kali ini dengan judul “Merancang Kematian”.

Visi Akhirat
Umat Islam haruslah berVISI akhirat. Visi kita adalah “Mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat serta terhindar dari siksa neraka (Al Baqarah: 201)”. Meskipun begitu, umat Islam tetap tidak boleh melupakan dunia, karena dunia sebenarnya adalah ladang amal dan sarana kita untuk mendapat tempat yang membahagiakan di akhirat nanti. Bukan soal tidak boleh bahagia di dunia, tetapi bagaimana dunia itu bisa kita genggam tanpa menjangkiti hati-hati kita. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya, dunia itu tidak mampu kita genggam, tetapi justru menjangkiti hati-hati kita. Bagi orang yang berVISI akhirat, dunia ini akan terasa ringan, dan karena itu pula dunia ini akan mudah digenggamnya.

Contoh kecil bagaimana pengaplikasian VISI akhirat adalah perkataan Imam Ghazali bahwa seseorang disebut gagal di dunia ketika dia meninggalkan keturunannya dalam keadaan miskin, secara harta, iman, dan ilmu. Namun sayangnya, sebagian orang hanya mewariskan harta pada keturunannya, bukan iman dan ilmu. Padahal kedua komponen lainnya inilah yang mampu membuat harta ‘berguna’, dalam arti bisa dimanfaatkan di jalan yang benar sehingga memiliki nilai di akhirat nanti.

Hisablah Dirimu!
Dalam konteks ke-organisasi-an, dikenal istilah evaluasi, di mana langkah aksi yang telah dijalankan dicek ulang apakah sudah sesuai dengan rencana. Begitu pula dalam Islam dikenal istilah hisab. Di akhirat nanti, ketika peluang beramal telah terputus, amal kita akan ditimbang oleh Allah SWT dan dibalaskan sesuai dengan hukum yang berlaku. Pada saat itulah seadil-adilnya pengadilan, karena diputuskan oleh Sang Maha Adil. Karena rasa takutnya akan hisab Allah, Umar bin Khattab pernah berkata, “Hisablah dirimu sebelum Allah menghisabmu.” Akan tetapi, bagaimana kita mau menghisab diri kita jika kita tidak pernah merencanakan apa pun? Sebuah contoh kecil => Bagaimana kita mau menyesal tidak sholat malam, ketika merencanakan untuk melakukannya saja belum?

Bahkan manusia sekaliber Umar bin Khattab pun punya waktu khusus dalam satu minggu di mana dia tidak mau diganggu oleh siapa pun dan hanya ingin menyendiri (‘itikaf). Untuk apa? Tentu untuk menghisab dirinya, untuk kembali melihat ke dalam fitrah kemanusiannya yang mungkin terlupa oleh berbagai aktivitas ke-dunia-an. Fitrah kemanusiaan di mana kematian adalah keniscayaan dan kita tidak tahu kapan.

Mau seperti apa nanti saat kita mati? Rancang sejak sekarang. Rencakan apa yang harus kita lakukan. Hisablah senantiasa diri. Karena ajal, siapa yang tahu?

*Risalah Diskusi ARC #5 (Meracang Masa Depan – Banu Muhammad), 28 April 2011

Muhammad Alfisyahrin
Manajer Kampanye ARC FISIP UI

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger