Mimpi Besar Peradaban Baru


"Allah menimpakan kemurkaanNya kepada mereka yang tidak menggunakan akal"
Yunuus (10) : 100

Perdebatan para ilmuwan dan akademisi dalam ranah ilmu pengetahuan, utamanya ilmu sosial seringkali tiba pada perdebatan klasik mengenai nilai. Ada dua pandangan yang bertentangan, yaitu antara ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas nilai (value free) dengan ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang sarat nilai (value laden). Ilmu pengetahuan sebagai sesuatu yang bebas nilai dianggap sebagai suatu objek yang harus netral, sedangkan sebagai sesuatu yang sarat nilai, ilmu pengetahuan dianggap selalu membawa sesuatu di baliknya.

Apa yang Membuat Ilmu Tidak Bebas Nilai
Saya cenderung setuju dengan pendapat kedua, dimana ilmu dianggap sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai. Mengapa? Karena ilmu pengetahuan, walaupun tidak diciptakan, merupakan sesuatu yang dikembangkan oleh manusia. Ilmu tidak lahir begitu saja, melainkan disarikan dan diolah oleh manusia dari bahan mentah berupa pengalaman maupun temuan hingga menjadi suatu bentuk esai dan buah pemikiran manusia.

Ketika kita bicara mengenai manusia sebagai subjek yang mencetuskan suatu teori maupun konsep, maka kita tak dapat menafikan bahwa dalam proses ia berpikir, ada frame of reference berupa nilai-nilai, maupun ideologi yang mempengaruhinya, entah sadar maupun tidak. Proses ini merupakan proses yang alamiah terjadi karena manusia pada dasarnya dalam mengolah informasi maka ia akan mengolah berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah ada di dalam benaknya.

Jejak nilai yang sarat pada ilmu pengetahuan dapat ditelusuri pada ilmu pengetahuan yang pertama-tama berkembang, yaitu filsafat. Tak dipungkiri filsafat berawal dari hasil pemikiran yang berdasarkan pengalaman dan spekulasi. Sehingga kecenderungan akan pengaruh nilai-nilai dan ideologi yang ada dalam diri filsuf sangat kentara.

Filsafat sebagai induk bagi semua ilmu pada akhirnya menurunkan ideologi yang dibawa pada ilmu-ilmu yang muncul selanjutnya. Perkembangan ilmu-ilmu tersebut pada gilirannya juga turut menyebarkan ideologi yang ada dibaliknya. Seperti dalam proses pendidikan dimana selain terdapat transfer of knowledge juga terdapat transfer of value.

Apa-apa yang ada di kepala manusia tadi dikenal sebagai pandangan alam (worldview), dimana cara kita memandang dunia sangat dipengaruhi oleh nilai dan ideologi yang ada dalam diri kita. Pandangan alam tertentu pulalah yang sangat mempengaruhi berkembangnya filsafat ketika itu, misalnya kepercayaan mengenai dewa-dewa pada masa Yunani maupun Romawi. Inilah yang pada akhirnya mempengaruhi pandangan alam para ilmuwan yang mewarisinya.

Pandangan Alam Sekuler vs. Islam
Mengamati perkembangan ilmu pengetahuan sulit rasanya untuk dilepaskan dari sejarah Pencerahan (Reinassance) yang terjadi di Barat ketika itu. Kebangkitan peradaban Barat sendiri sebenarnya muncul akibat pertentangan masyarakat terhadap agama dan mengakibatkan dikerangkengnya agama dalam kehidupan sosial. Inilah yang kemudian dikenal dengan sekularisasi, dimana agama dipisahkan dari segala aspek kehidupan masyarakat. Di Indonesia, sekularisasi bisa dikatakan hampir berhasil dilaksanakan sejak masa penjajahan. Terbukti dengan adanya dikotomi antara kehidupan agama dengan kehidupan sosial. Misalnya pada masa Orde Baru, agama mengalami domestifikasi dan menjadi isu yang tidak layak diungkit (dikenalnya istilah SARA). Tentunya ini bertentangan dengan konsepsi Islam sebagai agama yang menyeluruh dan mengatur segala aspek.

Kehidupan sekuler yang mulai mengakar dalam kehidupan masyarakat saat ini ternyata membawa konsekuensi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan. Entah sadar ataupun tidak, dalam melihat suatu permasalahan, kita lebih fasih menggunakan teori dan konsepsi Barat yang bisa jadi bertentangan dengan konsepsi yang ada dalam Islam.

Kita bisa memahami realitas dengan ideologi tertentu karena setiap penafsiran pasti berakar pada rumus metafisika dan pandangan alam tertentu. Rumus metafisika sekuler kalau ditelusur sebenarnya menafikan hal-hal yang non materi. Oleh karena itu agama merupakan hal yang dianggap tidak ilmiah. Rasio manusia menempati posisi tertinggi dalam klaim kebenaran (truth claim). Sehingga apabila kita menggunakannnya untuk memahami realitas yang ada, akan membawa kita pada kesimpulan yang lambat laun bisa menjauhkan kita dari Islam.

Berbeda dengan rumus metafisika Islam dimana dalam Islam dua aspek dalam hidup, yaitu jasad dan ruh. Ketika kita menggunakan pandangan alam yang memang berangkat dari Islam, maka hasilnya kita melihat realitas dan mengolahnya dalam pikiran dengan ukuran maupun hukum yang ada dalam Islam. Dalam metodologi Islam, kita lebih mempercayai perkataan Allah SWT (wahyu) dari pada perkataan manusia yang merupakan makhluk dengan banyak keterbatasan. Oleh karena itu kebenaran mutlak itu eksis dan berada di tangan Allah.

Mimpi Kita Bersama
Memahami realitas yang ada di sekitar kita merupakan sebuah keharusan bagi kita sebagai khalifah di muka bumi. Namun menjadi sulit rasanya apabila ilmu pengetahuan yang kita pelajari sudah banyak dipengaruhi pandangan alam sekuler. Membentengi diri dengan ilmu syar’i merupakan sebuah upaya preventif dalam hal ini. Selain itu, islamisasi pengetahuan kontemporer juga bisa menjadi solusi yang sifatnya kuratif, dimana diperlukan upaya untuk membuang unsur-unsur sekuler dari ilmu pengetahuan dan mengembalikannya ke dalam pangkuan Islam. Kedua solusi tersebut mungkin nampak utopis, namun inilah tugas kita bersama untuk membangun peradaban baru. Dan peradaban itu berawal dari sebuah mimpi besar, membangun paradigma ilmu pengetahuan baru, paradigma dengan pandangan alam Islam (islamic worldview).

*Risalah Diskusi ARC #1 (Intelektual: Haruskah Sekuler? - Ust. Tiar Anwar Bachtiar), 31 Maret 2011

Fitria Nur Syamsiah
Direktur ARC FISIP UI

comment 0 komentar:

Posting Komentar

Delete this element to display blogger navbar

 
Powered by Blogger