Kita mengeluh atas kekurangan mereka, tetapi kita tidak berterima kasih atas berbagai pengorbanan mereka. Entah sudah berapa malam yang mereka habiskan dengan terjaga demi tidur pulasnya kita. Entah sudah berapa lembar uang mereka keluarkan demi terpenuhinya kebutuhan kita, bahkan kadang meminggirkan keinginan manusiawi mereka. Entah sudah berapa tetes peluh yang mengalir di kulit lembut mereka demi terwujudnya mimpi-mimpi kita. Entah sudah berapa tetes air mata yang membanjiri renungan-renungan mereka saat melihat kebandelan-kebandelan kita.
Adakah kita masih bisa mengeluh?
Lihatlah diri kita sekarang! Jauh melangkah, jauh meninggi, jauh berkembang. Dihormati oleh orang kebanyakan, disenangi teman-teman, disegani rival. Keluarbiasaan capaian yang mungkin membuat kita lupa akan ‘asal’. Lupa akan awal kisah. Siapa yang memenuhi kebutuhan kita di saat diri kita tak punya daya? Siapa yang menjaga diri kita dari berbagai ancaman? Siapa yang mengarahkan kita menuju titik yang kita pijak sekarang? Siapa yang mendorong dan menguatkan kita di saat rasa lelah dan lemah mulai menyerta? Siapa yang memberi kita ‘nutrisi kemanusiaan’ pertama di saat segala macam nutrisi lain tak berguna?
Dan pertanyaan yang lebih mendasar. Siapa yang menjadi perantara dari penciptaan eksistensi kita dari tiada menjadi ada? Siapa pula yang menumbuhkembangkan potensi kemanusiaan dan kemampuan fungsional kita dari sederhana hingga serumit sekarang?
Kita boleh lupa. Tapi kita tidak boleh durhaka. Teruslah belajar mencintai mereka. Teruslah belajar berbakti pada mereka. Tak pantas kiranya jika ada manusia yang lupa pada pemberi bekal kemanusiaan padanya, jauh sejak dirinya bukanlah siapa-siapa. Karena menjadi anak-anak itu temporer, tetapi menjadi anak itu abadi. Tetaplah menjadi ‘anak’ meski sudah tidak lagi anak-anak!
Muhammad Alfisyahrin
Manajer Kampanye ARC FISIP UI
0 komentar:
Posting Komentar