Berbagai macam masalah moral hadir di depan mata kita. Yang nampak nyata hingga sangat ‘me-maya’. Membuat mata awam terbelalak dan mulut ahli berkoar. Sebagian menggelengkan kepala, sebagian membelanya. “Ini hak asasi mereka!” begitu kata mereka. Mereka tak sadar bahwa hak itu adalah pemberian Allah SWT. Sang Pemilik segalanya. Kita hanya dipinjamkan, sementara. Yang menggelengkan kepala, belum tentu tahu tahu mengapa. Gerakan kepala kiri kanan itu hanya refleks fitrah kemanusiaan, tanpa pemahaman. Mengapa hal itu disebut masalah?
Ini bukan judge. Ini adalah sikap. Respon wajar dari orang-orang yang punya pendirian dan pegangan. Sikap ini pun tidak membuat kita memaksa mereka yang salah untuk mengikuti kita. Hidayah itu hak prerogatif Allah SWT. Kita tidak akan mampu meluruskan orang yang memang sudah disesatkan-Nya. Berdoa saja, semoga Hidayah itu turun kepada mereka, melalui tangan kita. Tanpa paksaan, dengan penjelasan, persuasi, dan penuh kasih sayang.
Ada lelaki yang hilang ke-laki-lakiannya. Sensitif dan penuh perasaan. Mendadak hilang ketegasan dalam dirinya. Yang perempuan malah sebaliknya. Mereka saling bertukar dan mengaburkan makna ke-lelaki-an dan ke-perempuan-nannya. Untuk membenarkannya mereka ajukan konsep gender. Kata mereka, gender itu dikonstruksikan lingkungan sosial, berbeda dengan status kelamin yang dari sananya. Memang benar, karena faktanya memang begitu. Akan tetapi, kita jangan melihat fakta ini seakan-akan kita tidak punya tuntunan dan pegangan dalam hidup. Memilih gender apa pun (seakan-akan) boleh. Padahal, di sinilah letak ujian kita di dunia. Bagaiamana tuntunan Allah SWT yang telah tersedia bertemu dengan kebebasan manusia untuk memilih. Manakah yang akan kita pilih?
Belum lagi dengan adanya sebagian perempuan yang mulai enggan kalau ‘hanya’ mengurus anak. Kata ‘hanya’ itu menyiratkan adanya sebuah reduksi dari makna mengurus anak. Mereka berpikir bahwa memperoleh gaji dan jabatan tinggi lebih bernilai dari mengurus anak. Padahal, masa depan dunia ini ditentukan oleh mereka. Seseorang pernah berkata, “Jika ingin melihat kualitas generasi mendatang, lihatlah kemampuan para ibu sekarang.” Mereka adalah rahim peradaban. Bayangkan! Jika semua ibu mendelegasikan tugas mulia-nya ini kepada baby sitter yang tidak terjamin kualitasnya. Hancur! Jelas saja. Masalah yang telah dibahas sebelumnya adalah salah satu akibatnya. Kurang pendidikan dan perhatian, bermasalah pun, tak ada yang meluruskan.
Apa yang ditanamkan di keluarga adalah pondasi. Saat melihat bangunan rusak nan rapuh, liatlah pondasinya. Saat melihat ‘manusia-manusia bermasalah’, lihatlah bagaimana kondisi keluarganya. Apakah ayahnya yang tidak memberi keteladanan? Apakah ibunya yang lupa akan tugas pendidikan? Apakah anaknya yang lebih memprioritaskan teman?
Jika para ilmuwan sosial sekuler hanya bisa melihat trend hancurnya institusi keluarga, lalu memaafkannya atau bahkan justru senang atasnya. Kita harus melangkah lebih jauh ke depan. Bergerak. Ubah. Dari diri sendiri, dari keluarga sendiri.
*Terinspirasi dari BAB VII (Islam Sebuah Peradaban) dalam buku Petunjuk Jalan, karangan Sayyid Qutb
Muhammad Alfisyahrin
Manajer Kampanye ARC FISIP UI
0 komentar:
Posting Komentar